Twitter

Archive for 2012



Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957



Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

(1948) Liberty, Jilid 7, No 297, 1954



Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai



Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga 
- Thermopylae? -
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru, No. 11-12 
20-30 Agustus 1957



Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(1948) Siasat, Th III, No. 96 1949



 Chairil Anwar adalah tokoh populer, sastrawan besar Indonesia. Karya-karyanya sangat mewarnai khasanah kesusasteraan Indonesia dan mengilhami lahirnya sastrawan besar di Indonesia generasi berikutnya, hingga ia dinobatkan sebagai sastrawan pelopor angkatan 45 oleh HB Jasin. Sosok Khairil Anwar dapat dianalogikan sebagai seekor burung yang bebas, merdeka baik dalam berkarya maupun dalam keseharian. Kehidupannya sangat semrawut, mulai dari cara berpakaian maupun pola hidupnya. Tipe sajak yang diciptakannya penuh energi, semangat, dan teriakan lantang. Sajak berjudul “AKU” hingga kini masih menjadi karya monumental Khairil Anwar. Khairil populer dengan julukan “Si Binatang Jalang” . Julukan ini juga di ambil dari salah satu kalimat dalam sajaknya.

Biodata Khairil Anwar
Nama Lengkap Chairil Anwar
Tanggal Lahir 26 Juli 1922
Tempat Lahir Medan, Sumatera Utara
Wafat Jakarta, 28 April 1949
Karya Sastra
  • Deru Campur Debu (1949) 
  • Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949) 
  • Tiga Menguak Takdir (1950) 
  • "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949" 
  • Derai-derai Cemara (1998) 
  • Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948) 
  • Kena Gempur (1951)
Pendidikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS)
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
Penghargaan Pelopor sastra modern dan pelopor angkatan 45

Masa kecil khairil Anwar dihabiskan di Medan bersama kedua orang tuanya. Orang tuanya berasal dari kalangan terpandang seorang bupati di Kabupaten Indragiri Riau. Khairil mengenyam pendidikan dasar di HIS (Hollandsch-Inlandsche School)kemudian melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Khairil mengenal dunia sastra sejak tinggal di Jakarta bersama ibunya. Saat itu kedua orang tuanya bercerai dan khairil mengikuti ibunya. Ia banyak membaca karya-karya sastrawan dunia seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron, sehingga karya-karya khairil banyak dipengaruhi gaya penulisan sastraean-sastrawan tersebut. 

Nama besar Khairil Anwar mulai mengorbit setelah karyanya dipublikasikan di majalah Nisan. Puisi Khairil banyak bercerita tentang kehidupan, kematian dengan gaya bahasa yang tegas serta tidak mengikuti pakem penyusunan puisi. Semua tulisan Khairil kemudian dibukukan dalam berbagai antologi puiri serta banyak diterjemahkan dalam bahasa Inggris, prancis dan spanyol. Akibat pola hidup yang tidak teratur, khairil kemudian terkena penyakit TBC dan akhirnya meninggal di usia sangat muda (26 tahun dan dimakamkan di pemakaman umum Bivak. Hingga kini makam khairil dikunjungi ribuan orang terutama para pengagum karya-karyanya.


Chairil Anwar dengan karyanya yang berjudul “Aku” membuat dirinya terkenal sebagai “Si Binatang Jalang“. Bersama teman-teman penyair lainnya, seperti Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan ’45 dan puisi modern indonesia.
Lalu apa saja karya-karya yang sudah di ciptakan oleh penyair muda tersebut? serta bagaimanakah perjalanan hidup chairil anwar dari masa kecil hingga masa remaja serta akhir hidup chairil Anwar? Berikut duniabaca.com kutip dari wikipedia bahasa indonesia, ensiklopedia bebas untuk kita pelajari bersama tentang biografi lengkap chairil Anwar.


Perjalanan Hidup Charil Anwar


Kehidupan Masa Kecil Chairil Anwar 

Chairil Anwar Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung memengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Kehidupan Masa Remaja Chairil Anwar

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

Akhir Hidup Chairil Anwar 

Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Karya Tulis Chairil Anwar 

  • Deru Campur Debu (1949)
  • Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
  • Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
  • “Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949″, disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
  • Derai-derai Cemara (1998)
  • Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
  • Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

Karya-karya tentang Chairil Anwar 

  • Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
  • Boen S. Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and his Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
  • Abdul Kadir Bakar, “Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar” (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
  • S.U.S. Nababan, “A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar” (New York, 1976)
  • Arief Budiman, “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)
  • Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
  • H.B. Jassin, “Chairil Anwar, pelopor Angkatan ’45, disertai kumpulan hasil tulisannya”, (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
  • Husain Junus, “Gaya bahasa Chairil Anwar” (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
  • Rachmat Djoko Pradopo, “Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern” (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
  • Sjumandjaya, “Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
  • Pamusuk Eneste, “Mengenal Chairil Anwar” (Jakarta: Obor, 1995)
  • Zaenal Hakim, “Edisi kritis puisi Chairil Anwar” (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)